source: Google Image
Toxic masculinity bukanlah tentang menyalahkan semua laki-laki, melainkan tentang mengkritisi konstruksi sosial yang membentuk perilaku beracun dalam ekspresi maskulinitas. Di Indonesia, di mana budaya patriarki masih sangat mengakar, fenomena ini sering kali dianggap wajar atau bahkan dibenarkan. Padahal, dampak yang ditimbulkannya sangat serius dan merugikan banyak pihak. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan toxic masculinity? Bagaimana pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari?
Apa Itu Toxic Masculinity?
Toxic masculinity adalah bentuk ekspresi maskulinitas yang mendorong laki-laki untuk menampilkan sifat-sifat tertentu secara ekstrem, seperti kekuatan fisik, ketegasan tanpa kompromi, dan ketidakmampuan atau ketidaksediaan untuk menunjukkan emosi seperti kesedihan atau kelemahan. Sikap ini bisa terlihat dari ungkapan seperti "laki-laki tidak boleh menangis" atau "cowok sejati itu harus tegas dan keras".
Maskulinitas yang sehat tidak dilarang, namun menjadi bermasalah ketika nilai-nilai tersebut berubah menjadi penindasan emosional dan sosial. Laki-laki yang tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka harus selalu kuat dan dominan cenderung menyembunyikan perasaannya, menghindari bantuan profesional, bahkan mengekspresikan emosi melalui kekerasan.
Istilah ini mulai dikenal luas pada 1980-an melalui gerakan laki-laki pro-feminisme di Barat, yang mulai mengkritisi peran gender kaku yang merugikan semua pihak. Di era modern, istilah ini berkembang menjadi bagian dari perdebatan budaya yang lebih luas tentang kesetaraan gender dan kesehatan mental.
Dalam kehidupan sehari-hari, toxic masculinity dapat ditemukan di banyak tempat: di rumah, sekolah, tempat kerja, hingga media. Beberapa contoh yang sering ditemui adalah:
Keluarga adalah tempat pertama di mana anak belajar tentang gender. Oleh karena itu, orang tua memegang peran penting dalam mencegah lahirnya toxic masculinity. Anak laki-laki sebaiknya diajarkan bahwa tidak masalah untuk menangis, meminta bantuan, atau memilih profesi yang dianggap "tidak macho".
Mengubah budaya memang tidak mudah. Tapi ada beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan:
1. Edukasi Sejak Dini: Ajarkan kepada anak-anak bahwa emosi adalah bagian dari manusia, dan tidak ada yang salah dengan menangis.
2. Promosikan Maskulinitas Sehat: Tokoh publik, influencer, dan media harus aktif menampilkan citra laki-laki yang tidak terjebak stereotip.
3. Fasilitasi Ruang Diskusi: Komunitas dan organisasi sosial dapat membuka ruang diskusi bagi laki-laki untuk berbicara tentang pengalaman emosional mereka.
4. Revitalisasi Kurikulum Gender: Sekolah harus menyisipkan pendidikan kesetaraan gender dalam pelajaran mereka.
5. Dukung Layanan Kesehatan Mental: Buat layanan kesehatan mental lebih ramah bagi laki-laki.
Comments:
Leave a Reply